Dalam berdagang ada istilah “price taker” dan “price maker”. Price taker bukan kita yang menentukan namun para pemain besar seperti big boy di dunia currency atau para trader besar di dunia comodity atau dunia tambang mineral lainnya pada index di bursa komoditas lainnya.
Di sisi lain, price maker adalah kita yang menentukan sendiri harga produk kita yang kita buat.
Dalam price taker, indonesia yang memproduksi minyak saja tidak bisa menentukan harga minyak karena yang menentukan pasar atau para “pemain” yang lebih besar dari Indonesia, bahkan Saudi yang menghasilkan 40% minyak dunia hanya bisa pasrah oleh “pasar”.
Siapa itu pasar nanti kita akan bicara di sesi tersendiri. Yang jelas, setiap komoditas, sawit, cengkeh, teh, kopi itu semua ada “pemainnya” yang menentukan harga yang di “claim” dengan nama pasar . jadi orang awam hanya mengatakan “pasar”, padahal ini terencana, terdesign, terstruktur, terkendali.
Ada “baron”nya masing-masing komoditas, ada “raja”nya dan sudah ada yang berlangsung ratusan tahun system ini terjadi. Jadi naïf sekali kalau kita berbisnis kita jadi korban “harga” padahal kita produsen terbesar. Misalnya di kelapa sawit CPO, kita produsen tapi “victim” system tidak bisa “mementukan” harga. Kita produsen tetapi jadi “price taker”. Begitu juga di komoditas teh, kopi bagi Indonesia. Ya beginilah kalau Negara tidak berdaulat.
Kopi bean, bijih kopi kita menjadi price taker. Sekarang kita ilustrasikan. Misalnya 1 Kg saat ini adalah Rp 100.000 per Kg setelah di roasted jadi 150.000/kg. dan itu harga umum, kita hanya bisa untung 10-20% jika kita petani (bean).
Ketika di giling dan di pilah yang mutu bagus, mutu sedang dan mutu rendah maka mulai harga berbeda dan ini yang menentukan sudah pabrik produsennya dan ketika itu di beri merek mulai dari kapal api, kopi abc, hingga nescafe, dolce gusto dan lain sebagainya maka penentuan harga di tentukan oleh sang produsen tergantung “target pasar retail” mereka. Di sini margin keuntungan bisa 20-30%.
Ketika starbuck masuk ambil dari petani kopi bean di proses hingga di seduh dalam bentuk capucino, frapucino di tambah “suasana” nongkrong maka dari bean melompat 3 lapis , melompati roasted, manufactur , langusng ke pelanggan, maka margin keuntungan per Kg bisa sampai 1000%.!!. Karena dari 100.000 rupiah per kilo, di proses hingga di jual 15 gram Rp 50.000 . catatan, harga capucino di starbuck hanya membutuihkan 35 gram kopi kurang lebihnya. Atau 1 kg bisa buat 30 cup capucino .
Itu adalah price maker strategi, dimana strategi bisnis tadi menentukan harga premium dari sebuah kopi. Atau “maximum potensial” dari sebuah komoditas (coffee).
Dalam strategi “price” yang di lakukan starbuck adalah contoh tersempurna. Starbuck contoh sempurna dari strategi bisnis midstream dan hilir high end. Starbuck ini sahamnya salah satu “darling”nya wallstreet karena sudah naik 5000% sejak IPO.
Kita bicara lebih dalam lagi kepelajaran harga. Bisnis kita sekarang apa? jasa kah? Tangible produksi kah? Midstream main di tengah kah? Downstream atau di hulu kah? Atau main di hilir di pasar paling bawah kah?
Menarget kelas mana? Atas , tengah, bawah?
Barang yang habis di pakai atau consumable goods kah? Atau barang yang awet, non durable goods kah? Food dalam kemasan kah? Makanan siap saji kah? Yang jelas kita tidak bermain di pasar “price taker”, kita bermain di pasar “price maker” karena kita akan menentukan startegi pricenya.
Banyangkan dari sekedar diskusi tentang “pricing” ternyata masih panjang ya? Karena itu saya yang bertanya mau kemana arah tulisannya. Dari pada saya nulis ngak ada yang baca, khan sia-sia. Karena pelajaran tentang pricing ini adalah strategi paling penting dalam dunia retail (menurut saya). kita terusin? Butuh yang mana? #peace #mardigu
Aplikasi Jual Beli Emas dari Bos Man Mardigu
Klik Link => dinaran-gold.com
Di sisi lain, price maker adalah kita yang menentukan sendiri harga produk kita yang kita buat.
Dalam price taker, indonesia yang memproduksi minyak saja tidak bisa menentukan harga minyak karena yang menentukan pasar atau para “pemain” yang lebih besar dari Indonesia, bahkan Saudi yang menghasilkan 40% minyak dunia hanya bisa pasrah oleh “pasar”.
Siapa itu pasar nanti kita akan bicara di sesi tersendiri. Yang jelas, setiap komoditas, sawit, cengkeh, teh, kopi itu semua ada “pemainnya” yang menentukan harga yang di “claim” dengan nama pasar . jadi orang awam hanya mengatakan “pasar”, padahal ini terencana, terdesign, terstruktur, terkendali.
Ada “baron”nya masing-masing komoditas, ada “raja”nya dan sudah ada yang berlangsung ratusan tahun system ini terjadi. Jadi naïf sekali kalau kita berbisnis kita jadi korban “harga” padahal kita produsen terbesar. Misalnya di kelapa sawit CPO, kita produsen tapi “victim” system tidak bisa “mementukan” harga. Kita produsen tetapi jadi “price taker”. Begitu juga di komoditas teh, kopi bagi Indonesia. Ya beginilah kalau Negara tidak berdaulat.
Kopi bean, bijih kopi kita menjadi price taker. Sekarang kita ilustrasikan. Misalnya 1 Kg saat ini adalah Rp 100.000 per Kg setelah di roasted jadi 150.000/kg. dan itu harga umum, kita hanya bisa untung 10-20% jika kita petani (bean).
Ketika di giling dan di pilah yang mutu bagus, mutu sedang dan mutu rendah maka mulai harga berbeda dan ini yang menentukan sudah pabrik produsennya dan ketika itu di beri merek mulai dari kapal api, kopi abc, hingga nescafe, dolce gusto dan lain sebagainya maka penentuan harga di tentukan oleh sang produsen tergantung “target pasar retail” mereka. Di sini margin keuntungan bisa 20-30%.
Ketika starbuck masuk ambil dari petani kopi bean di proses hingga di seduh dalam bentuk capucino, frapucino di tambah “suasana” nongkrong maka dari bean melompat 3 lapis , melompati roasted, manufactur , langusng ke pelanggan, maka margin keuntungan per Kg bisa sampai 1000%.!!. Karena dari 100.000 rupiah per kilo, di proses hingga di jual 15 gram Rp 50.000 . catatan, harga capucino di starbuck hanya membutuihkan 35 gram kopi kurang lebihnya. Atau 1 kg bisa buat 30 cup capucino .
Itu adalah price maker strategi, dimana strategi bisnis tadi menentukan harga premium dari sebuah kopi. Atau “maximum potensial” dari sebuah komoditas (coffee).
Dalam strategi “price” yang di lakukan starbuck adalah contoh tersempurna. Starbuck contoh sempurna dari strategi bisnis midstream dan hilir high end. Starbuck ini sahamnya salah satu “darling”nya wallstreet karena sudah naik 5000% sejak IPO.
Kita bicara lebih dalam lagi kepelajaran harga. Bisnis kita sekarang apa? jasa kah? Tangible produksi kah? Midstream main di tengah kah? Downstream atau di hulu kah? Atau main di hilir di pasar paling bawah kah?
Menarget kelas mana? Atas , tengah, bawah?
Barang yang habis di pakai atau consumable goods kah? Atau barang yang awet, non durable goods kah? Food dalam kemasan kah? Makanan siap saji kah? Yang jelas kita tidak bermain di pasar “price taker”, kita bermain di pasar “price maker” karena kita akan menentukan startegi pricenya.
Banyangkan dari sekedar diskusi tentang “pricing” ternyata masih panjang ya? Karena itu saya yang bertanya mau kemana arah tulisannya. Dari pada saya nulis ngak ada yang baca, khan sia-sia. Karena pelajaran tentang pricing ini adalah strategi paling penting dalam dunia retail (menurut saya). kita terusin? Butuh yang mana? #peace #mardigu
Aplikasi Jual Beli Emas dari Bos Man Mardigu
Klik Link => dinaran-gold.com
Posting Komentar