Melihat gelagat cara pemimpin saat ini ternyata sulit bisa di ingatkan dengan pelan-pelan maka mempunyai “pressure group” menjadi salah satu alternative. Bener deh, saya ingin sekali kita ini bergabung dalam sebuah komunitas yang kuat data, kuat fakta dan pandai mengalisa.
Lalu kita banjiri dengan viral ke istana agar “ngeh” sebelum kejadian akan berbagai masalah merugikan terjadi bisa di antisipasi, terutama masalah ekonomi.
Saya tidak menyalahkan kalau di lihat dari niatnya beberapa group atau ormas atau kelompok politik jika keinginan mereka tidak di akomodir maka mereka menggunakan tekanan dengan group atau menggiring sejumlah massa agar mendapat perhatian. Itu memang cara tradisional yang sudah berlaku lama di jaman modern kurang lebih 100 tahunan ini. Gandhi pelopornya gerakan tanpa kekerasan. Namun ada juga yang memaksa dengan kekerasan. Karena merasa suaranya tidak di dengar.
Ngak apa-apa itu semua di kerjakan mengarahkan massa dan menggiring opini. Tetapi ada yang baru dalam 5 tahun terakhir. landscape menekan menggunakan sebuah fenomena baru yang bernama social media. Bukan media mainstream seperti dulu di jaman percetakan TV dan radio berkuasa, namun cara social dengan cuitan pribadi atau orang-orang yang memiliki basis massa di social media yang banyak itu juga bisa menjadi pressure group.
Para kaum selegram selebriti instagram, twitter dan banyak lagi individu yang memiliki banyak follower di sebut para influencer. Jika di gunakan secara massif juga bisa menjadi “toac speaker” yang kencang.
Dalam hal ini saya bukan semuanya, bukan influencer di sosmed, bukan juga pemimpin organisasi massa apa lagi berpolitik. Saya hanya pebisnis ecek-ecek pinggiran. Yang punya sedikit kebiasaan mencatat buku harian, penulis amatiran.
Namun terkadang, ingin juga mengungkapkan pendapat pribadi yang menurut saya bisa membantu pemerintah. Tersering sih kesel karena ngak kedengaran oleh penguasa atau pemegang kebijakan. Kalaupun di dengar ngak di anggep lah, siapa tuh si sontoloyo yang Cuma bias berkoar-koar di sosmed .
Saya ngerti sih niatnya proyek akan jalan cepat. Sekali lagi “proyek” sebagai window dressing 2019 harus jadi dengan cepat. Sekali lagi saya katakan bahwa proyek yang di bangun banyak yang window dressing. Tidak semua loh, banyak. Dan ini berbahaya buat “cashflow” Negara.
BUMNIsasi, atau “heavy on government spending” adalah Bisnis seperti gaya pemerintah ala-ala china ini saya ngak setuju dan tidak suka banget. Beda karena pemerintahnya harus otoriter dan apakah mau jadi kesana arah, pemerintah pemaksa kehendak?!.
Secara pembangunan, memang terlihat cepat tapi mutu dan kesadaran “service” nya rendah banget, yang ada lebih lagi manajemen nya seperti gaya “kerajaan”, menak. Bukan seperti entrepreneur spirit. Organisasinya gemuk, pengambil keputusanya top down. Yang di bawah lambat gerak. Pesan dari bawah sulit sampai ke atas. Kuno banget deh menjalankan bisnisnya.
CEO dan direksi yang bekerja hanya 5 tahunan, bagi saya hal seperti itu sulit bisa membesarkan organisasi. Ngak bisalah menjalankan bisnis yang setiap 5 tahun berubah “policy” nya. Pimpinan ganti, chemistry organisasi ganti juga. Sulit sangat sulit bergerak lincah yang ada hanya cari aman. Misalnya BUMN BPJS saya kasih contoh, ganti pemimpin ganti gaya, ganti style laporan ganti corporate action, ngak bisa begitu bisnis itu. Dan bleeding tuh BPJS.
Lalu ada pertanyaan, Share holder BUMN di wakili siapa? Kepemilikan itu menentukan “sence of belonging” kalau jawabanya rakyat Indonesia. Rakyat sebelah mana? Orang BUMN sekarang menganggap rakyat Indonesia adalah “pasar”, di kuras hartanya, di keduk tenaganya.
Terus misalnya lagi dari 116 BUMN di tambah dengan anak usaha nya semuanya, kira-kira ada 800 an itu assetnya “hanya 3500 triliun rupiah” dan itu senilai USD250 Billion. Bandingkan dengan satu perusahaan GE saja sudah jauh ketinggalan, asset GE dan market capitalization GE USD 500 Billion. Di banding Apple inc sudah mencapai USD 1000 Billion atau USD 1 trilion . dan mereka HANYA DI PIMPIN SEORANG CEO, bukan menteri dengan perangkat departemennya!!!. Malu bener deh urusan beginian di bawah menteri coba?!.
BUMN Indonesia di banding akumulasi sejumlah beberapa group seperti sinar mas group, salim group, djarum group itu hampir sama “market cap” nya. Ini sisi local loh, bukan sisi swasta Negara lain.
Atau kalau ngak mau kasih modal, beri kami “regulasi” yang memihak pada bisnis kami. Dan bukan kami saja yang beruntung, semua stake holder warga Negara akan di untungkan dengan strategi ini termasuk yang WNA. Solusi ini tidak rasialis, tidak segmatasi, solusi kami tidak pilih-pilih. Kebijakan apa yang saya maksud?
Ok pak presiden, boleh saya minta waktu berdua, yuk jagongan kita pak. Sarungan sambil nunggu magriban tambah wedang jahe berdua boleh juga. Mau saya kasih solusi cepatnya tapi maaf, anti BUMNisasi loh ini pak. Anti Rinso loh ini pak. Nah..bagaimana? masih mau jagongan sama saya pak presiden? Kayaknya ngak ya, bapak masih pro rinso ya pak…kasihan deh gua, ngareep banget.
Yo wis karena ngak di tanggap ya tak ngomong di public usulannya, bagaimana? Jangan di bilang saya ini pengkritik ngak pake solusi, ndak loh ya?
Ini bukan masalah pri - non pri, keturuan - non keturunan, saya ngak rasis. Bagi saya, siapa saja pemegang passport hijau berlogo garuda pancasila, adalah saudara saya sebangsa setanah air. Saya bukan pemberi label. Maaf. Kepada siapa yang sumpah setia kepada merah putih dan terbukti loyal, itu saudara kita, sebangsa dan setanah air.
Tetapi ada fakta dalam keberhasilan ekonomi adalah 20% manusia di Indonesia menguasai 80% kekayaan nasional. Ada 3% manusia di Indonesia mengusai 70% kekayaan nasional malahan.
Jujur, Saya ngak akan tanya yang 3% itu “asalnya” dari mana. Titik. Saya ngak bahas. Yang saya bahas adalah bagaimana agar yang 97% setidaknya bisa meningkat derajatnya tiga empat kali lipat, segera.
Caranya gampang. Gunakan strategi penyeimbang. Cari pengusaha tangguh dari tingkat nasional, provinsi hingga kabupaten. Bukan pemain lama. Harus, Pemain baru dan beri “fasilitas”. Beri mereka “pinjaman” stand by loan. Misalnya skala nasional pilih 10 pengusaha tiap tahun selama 5 tahun alias ada 50 orang dan beri fasilitas 10 triliun stand by loan per kelompok tersebut.
Begitu mereka membeli, atau membangun, atau mengembangkan, baru sebagai “counter part” nya, asset tersebut di pegang bank.
Percaya saya, ekonomi tumbuh cepat. Karena swasta lebih pandai berbisnis. Lalu tiap provinsi pilih 3-5 orang tiap tahun selama 5 tahun kedepan, di setiap kabupaten pilih 3-5 pengusaha baru di beri “stand by loan” sebanyak 500 milyar. Mereka harus membangun wilayahnya tidak boleh keluar kecuali produknya boleh keluar wilayahnya.
Dengan cara ini, eknomi berputar secara “trickle down” 5 tahun ke depan dengan cepat. Dan pilihan kepada siapa dana stand by loan itu di berikan? Ada lah cara tolok ukur yang NKRI, yang pantas dan sebentar pak presdien, kalau bapak berkenan, saya yang jadi salah satu “mata” pemilihnya sebagai “jury” boleh pak. Saya cukup “simon cowell” kok orangnya, bahkan lebih, saya khan sontoloyo.#peace #mardigu
Aplikasi Jual Beli Emas dari Bos Man Mardigu
Klik Link => dinaran-gold.com
Lalu kita banjiri dengan viral ke istana agar “ngeh” sebelum kejadian akan berbagai masalah merugikan terjadi bisa di antisipasi, terutama masalah ekonomi.
Saya tidak menyalahkan kalau di lihat dari niatnya beberapa group atau ormas atau kelompok politik jika keinginan mereka tidak di akomodir maka mereka menggunakan tekanan dengan group atau menggiring sejumlah massa agar mendapat perhatian. Itu memang cara tradisional yang sudah berlaku lama di jaman modern kurang lebih 100 tahunan ini. Gandhi pelopornya gerakan tanpa kekerasan. Namun ada juga yang memaksa dengan kekerasan. Karena merasa suaranya tidak di dengar.
Ngak apa-apa itu semua di kerjakan mengarahkan massa dan menggiring opini. Tetapi ada yang baru dalam 5 tahun terakhir. landscape menekan menggunakan sebuah fenomena baru yang bernama social media. Bukan media mainstream seperti dulu di jaman percetakan TV dan radio berkuasa, namun cara social dengan cuitan pribadi atau orang-orang yang memiliki basis massa di social media yang banyak itu juga bisa menjadi pressure group.
Para kaum selegram selebriti instagram, twitter dan banyak lagi individu yang memiliki banyak follower di sebut para influencer. Jika di gunakan secara massif juga bisa menjadi “toac speaker” yang kencang.
Dalam hal ini saya bukan semuanya, bukan influencer di sosmed, bukan juga pemimpin organisasi massa apa lagi berpolitik. Saya hanya pebisnis ecek-ecek pinggiran. Yang punya sedikit kebiasaan mencatat buku harian, penulis amatiran.
Namun terkadang, ingin juga mengungkapkan pendapat pribadi yang menurut saya bisa membantu pemerintah. Tersering sih kesel karena ngak kedengaran oleh penguasa atau pemegang kebijakan. Kalaupun di dengar ngak di anggep lah, siapa tuh si sontoloyo yang Cuma bias berkoar-koar di sosmed .
Tapi saya ngak perduli,suatu saat pasti kedengaran juga, yang penting konstan menyuarakan dan terus menerus. Saya yakin pasti para influencer suatu saat akan memviral suara saya. Apa yang saya mau suarakan kritikan sekarang. Saya ingin sekali lagi bersuara tentang BUMNisasi. Saya anti banget dengan “centralize” bisnis seperti ini. Saya ngak setuju dengan strategi ibu menteri BUMN saat ini.
Saya ngerti sih niatnya proyek akan jalan cepat. Sekali lagi “proyek” sebagai window dressing 2019 harus jadi dengan cepat. Sekali lagi saya katakan bahwa proyek yang di bangun banyak yang window dressing. Tidak semua loh, banyak. Dan ini berbahaya buat “cashflow” Negara.
BUMNIsasi, atau “heavy on government spending” adalah Bisnis seperti gaya pemerintah ala-ala china ini saya ngak setuju dan tidak suka banget. Beda karena pemerintahnya harus otoriter dan apakah mau jadi kesana arah, pemerintah pemaksa kehendak?!.
Secara pembangunan, memang terlihat cepat tapi mutu dan kesadaran “service” nya rendah banget, yang ada lebih lagi manajemen nya seperti gaya “kerajaan”, menak. Bukan seperti entrepreneur spirit. Organisasinya gemuk, pengambil keputusanya top down. Yang di bawah lambat gerak. Pesan dari bawah sulit sampai ke atas. Kuno banget deh menjalankan bisnisnya.
CEO dan direksi yang bekerja hanya 5 tahunan, bagi saya hal seperti itu sulit bisa membesarkan organisasi. Ngak bisalah menjalankan bisnis yang setiap 5 tahun berubah “policy” nya. Pimpinan ganti, chemistry organisasi ganti juga. Sulit sangat sulit bergerak lincah yang ada hanya cari aman. Misalnya BUMN BPJS saya kasih contoh, ganti pemimpin ganti gaya, ganti style laporan ganti corporate action, ngak bisa begitu bisnis itu. Dan bleeding tuh BPJS.
Lalu ada pertanyaan, Share holder BUMN di wakili siapa? Kepemilikan itu menentukan “sence of belonging” kalau jawabanya rakyat Indonesia. Rakyat sebelah mana? Orang BUMN sekarang menganggap rakyat Indonesia adalah “pasar”, di kuras hartanya, di keduk tenaganya.
Terus misalnya lagi dari 116 BUMN di tambah dengan anak usaha nya semuanya, kira-kira ada 800 an itu assetnya “hanya 3500 triliun rupiah” dan itu senilai USD250 Billion. Bandingkan dengan satu perusahaan GE saja sudah jauh ketinggalan, asset GE dan market capitalization GE USD 500 Billion. Di banding Apple inc sudah mencapai USD 1000 Billion atau USD 1 trilion . dan mereka HANYA DI PIMPIN SEORANG CEO, bukan menteri dengan perangkat departemennya!!!. Malu bener deh urusan beginian di bawah menteri coba?!.
BUMN Indonesia di banding akumulasi sejumlah beberapa group seperti sinar mas group, salim group, djarum group itu hampir sama “market cap” nya. Ini sisi local loh, bukan sisi swasta Negara lain.
Untuk itu saya mau kasih solusi,sebenarnya untuk membesarkan ekonomi sebuah Negara itu gampang. Distribusi ke kayaan ke swasta itu gampang. Saat ini pribumi swasta banyak yang siap untuk di kembangkan. Beri kami kekuatan dukungan keuangan saja bener deh kami tidak mau manja seperti bisnis kaum tua-tua para kongmerat yang kaya dari jaman Suharto sampai sekarang yang pandai memanipulasi para banker. Dan banker yang di kerjain mereka yang bank plat merah lagi. Ngak lah, kami ngak tiru gaya itu.
Atau kalau ngak mau kasih modal, beri kami “regulasi” yang memihak pada bisnis kami. Dan bukan kami saja yang beruntung, semua stake holder warga Negara akan di untungkan dengan strategi ini termasuk yang WNA. Solusi ini tidak rasialis, tidak segmatasi, solusi kami tidak pilih-pilih. Kebijakan apa yang saya maksud?
Ok pak presiden, boleh saya minta waktu berdua, yuk jagongan kita pak. Sarungan sambil nunggu magriban tambah wedang jahe berdua boleh juga. Mau saya kasih solusi cepatnya tapi maaf, anti BUMNisasi loh ini pak. Anti Rinso loh ini pak. Nah..bagaimana? masih mau jagongan sama saya pak presiden? Kayaknya ngak ya, bapak masih pro rinso ya pak…kasihan deh gua, ngareep banget.
Yo wis karena ngak di tanggap ya tak ngomong di public usulannya, bagaimana? Jangan di bilang saya ini pengkritik ngak pake solusi, ndak loh ya?
Ini bukan masalah pri - non pri, keturuan - non keturunan, saya ngak rasis. Bagi saya, siapa saja pemegang passport hijau berlogo garuda pancasila, adalah saudara saya sebangsa setanah air. Saya bukan pemberi label. Maaf. Kepada siapa yang sumpah setia kepada merah putih dan terbukti loyal, itu saudara kita, sebangsa dan setanah air.
Tetapi ada fakta dalam keberhasilan ekonomi adalah 20% manusia di Indonesia menguasai 80% kekayaan nasional. Ada 3% manusia di Indonesia mengusai 70% kekayaan nasional malahan.
Jujur, Saya ngak akan tanya yang 3% itu “asalnya” dari mana. Titik. Saya ngak bahas. Yang saya bahas adalah bagaimana agar yang 97% setidaknya bisa meningkat derajatnya tiga empat kali lipat, segera.
Caranya gampang. Gunakan strategi penyeimbang. Cari pengusaha tangguh dari tingkat nasional, provinsi hingga kabupaten. Bukan pemain lama. Harus, Pemain baru dan beri “fasilitas”. Beri mereka “pinjaman” stand by loan. Misalnya skala nasional pilih 10 pengusaha tiap tahun selama 5 tahun alias ada 50 orang dan beri fasilitas 10 triliun stand by loan per kelompok tersebut.
Begitu mereka membeli, atau membangun, atau mengembangkan, baru sebagai “counter part” nya, asset tersebut di pegang bank.
Percaya saya, ekonomi tumbuh cepat. Karena swasta lebih pandai berbisnis. Lalu tiap provinsi pilih 3-5 orang tiap tahun selama 5 tahun kedepan, di setiap kabupaten pilih 3-5 pengusaha baru di beri “stand by loan” sebanyak 500 milyar. Mereka harus membangun wilayahnya tidak boleh keluar kecuali produknya boleh keluar wilayahnya.
Dengan cara ini, eknomi berputar secara “trickle down” 5 tahun ke depan dengan cepat. Dan pilihan kepada siapa dana stand by loan itu di berikan? Ada lah cara tolok ukur yang NKRI, yang pantas dan sebentar pak presdien, kalau bapak berkenan, saya yang jadi salah satu “mata” pemilihnya sebagai “jury” boleh pak. Saya cukup “simon cowell” kok orangnya, bahkan lebih, saya khan sontoloyo.#peace #mardigu
Aplikasi Jual Beli Emas dari Bos Man Mardigu
Klik Link => dinaran-gold.com
إرسال تعليق